BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Dalam menentukan atau
menetapkan hukum-hukum ajaran Islam para mujtahid telah berpegang teguh kepada
sumber-sumber ajaran Islam. Sumber pokok ajaran Islam adalah Al-Qur’an yang
memberi sinar pembentukan hukum Islam sampai akhir zaman. Disamping itu
terdapat as-Sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an terhadap hal-hal yang masih
bersifat umum. Selain itu para mujtahidpun menggunakan Ijma’, Qiyas. Sebagai
salah satu acuan dalam menentukan atau menetapkan suatu hukum.
Untuk
itu, perlu adanya penjabaran tentang sumber-sumber ajaran Islam tersebut
seperti Al-Qur’an, Hadist, Ijma’, Qiyas, dan Ijtihad. Agar mengerti serta
memahami pengertian serta kedudukannya dalam menentukan suatu hukum ajaran
Islam.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Pengertian
Al-Qur’an Beserta Ruang Lingkupnya.
2. Fungsi
dan Isi Kandungan Al-Qur’an.
3. Kedudukan
Hadist, Ijma, dan Qiyas.
4. Pengertian
Nash dan Syari’ah.
5. Pengertian
Ijtihad dan Perbedaan Mazdhab.
1.3
Tujuan
1. Untuk
Mengetahui Pengertian Al-Qur’an Beserta ruang Lingkupnya
2. Untuk
Mengetahui Fungsi dan Isi Kandungan Al-Qur’an
3. Untuk
Mengetahui Kedudukan Hadist, Ijma, dan Qiyas
4. Untuk
Mengetahui Pengertian Nash dan Syari’ah
5. Untuk
Mengetahui Pengertian Ijtihad dan Perbedaan Mazdhab
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Al-Qur’an
Secara Bahasa (Etimologi) Merupakan
mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro’a yang bermakna Ta’ala (keduanya
berarti : membaca), atau bermakna jama’(mengumpulkan).
Secara
Syari’at (Terminologi) Adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul
dan penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, diawali
dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.
Allah ta’ala berfirman, “Sesungguhnya
Kami telah menurunkan al-Qur’an kepadamu (hai Muhammad) dengan
berangsur-angsur.” (al-Insaan:23)
Dan firman-Nya, “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan
berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Yusuf:2)
Allah ta’ala telah menjaga al-Qur’an yang agung ini dari upaya merubah,
menambah, mengurangi atau pun menggantikannya. Dia ta’ala telah menjamin akan
menjaganya sebagaimana dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya Kami-lah yang menunkan
al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benr-benar memeliharanya.” (al-Hijr:9)
Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT yang merupakan
mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hukum dan
pedoman hidup bagi pemeluk Islam dan bernilai ibadat yang membacanya.
- Ruang
Lingkupnya Al-Qur’an
Pokok-pokok isi Al-Qur’an ada 5:
1.
Tauhid, kepercayaan
terhadap Allah, malaikat-malaikat Nya, Kitab-kitab Nya, Rosul-rosul Nya, Hari
Akhir dan Qodho, Qadar yang baik dan buruk.
2.
Tuntutan ibadat sebagai
perbuatan yang jiwa tauhid.
3.
Janji dan Ancaman
4.
Hidup yang dihajati
pergaulan hidup bermasyarakat untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
5.
Inti sejarah
orang-orang yang taat dan orang-orang yang dholim pada Allah SWT.
- Dasar-dasar
Al-Qur’an Dalam Membuat Hukum
1. Tidak
memberatkan
“Allah tidak membenari seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya.”
Misalnya:
a) Boleh
tidak berpuasa pada bulan Ramadhan.
b) Boleh
makan-makanan yang diharamkan jika dalam keadaan terpaksa/memaksa.
c) Boleh
bertayamum sebagai ganti wudhu’
2. Menyedikitkan
beban
Dari prinsip tidak memberatkan itu,
maka terciptalah prinsip menyedikitkan beban agar menjadi tidak berat. Karena
itulah lahir hukum-hukum yang sifatnya rukhsah. Seperti: mengqashar sholat.
3. Berangsur-angsur
dalam menetapkan hukum
Hal ini dapat diketahui, umpamanya;
ketika mengharamkan khomr.
1) Menginformasikan
manfaat dan mahdhorotnya.
2) Mengharamkan
pada waktu terbatas, yaitu; sebelum sholat.
3) Larangan
secara tegas untuk selama-lamanya.
2.2
Fungsi dan Isi Kandungan Al-Qur’an
Fungsi Al-Qur’an
1. Petunjuk
bagi Manusia.
Allah
swt menurunkan Al-Qur’ansebagai petujuk umar manusia,seperti yang dijelaskan
dalam surat (Q.S AL-Baqarah 2:185 (QS AL-Baqarah 2:2) dan (Q.S AL-Fusilat
41:44)
2. Sumber
pokok ajaran islam.
Fungsi
AL-Qur’an sebagai sumber ajaran islam sudah diyakini dan diakui kebenarannya
oleh segenap hukum islam.Adapun ajarannya meliputi persoalan kemanusiaan secara
umum seperti hukum,ibadah,ekonomi,politik,social,budaya,pendidikan,ilmu
pengethuan dan seni.
3.
Peringatan dan pelajaran bagi manusia.
Dalam
AL-Qur’an banyak diterangkan tentang kisah para nabi dan umat terdahulu,baik
umat yang taat melaksanakan perintah Allah maupun yang mereka yang menentang
dan mengingkari ajaran Nya.Bagi kita,umat uyang akan datang kemudian rentu
harus pandai mengambil hikmah dan pelajaran dari kisah-kisah yang diterangkan
dalam Al-Qur’an.
4. Sebagai
mukjizat Nabi Muhammad saw.
Turunnya
Al-Qur’an merupakan salah satu mukjizat yang dimilki oleh nabi Muhammad saw.
Tujuan Pokok Al-Quran
1.
Petunjuk akidah dan kepercayaan
yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan
dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
2.
Petunjuk mengenai akhlak yang
murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus
diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif.
3.
Petunjuk mengenal syariat dan
hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh
manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Atau dengan kata lain
yang lebih singkat, “Al-Quran adalah petunjuk bagi selunih manusia ke jalan
yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.”
Pokok Ajaran
Dalam Isi Kandungan AlQur’an
1.
Akidah
akidah adalah keyakinan atau kepercayaan.Akidah islam adalah keyakinan atau
kepercayaan yang diyakini kebenarannya dengan sepenuh hati oleh setiap
muslim.Dalam islam,akidah bukan hanya sebagai konsep dasar yang ideal untuk
diyakini dalam hati seorang muslim.Akan tetapi,akidah tau kepercayaan yang
diyakini dalam hati seorang muslim itu harus mewujudkan dalam amal perbuatan
dan tingkah laku sebagai seorang yang beriman.
2.
Ibadah dan Muamalah. Kandungan
penting dalam Al-Qur’an adalah ibadah dean muamallah.Menurut Al-ur’an tujuan
diciptakannya jin dan manusia adalah agar mereka beribadah kepada Allah.Seperti
yang dijelaskan dalam (Q.S Az,zariyat 51:56)
Manusia selain sebagai makhluk pribadi juga sebagai makhluk sosial.manusia
memerlukan berbagai kegiatan dan hubungan alat komunikasi .Komonikasi dengan
Allah atau hablum minallah ,seperti shalat,membayar zakat dan lainnya.Hubungan
manusia dengan manusia atau hablum minanas ,seperti silahturahmi,jual
beli,transaksi dagang, dan kegiatan kemasyarakatan. Kegiatan seperti itu
disebut kegiatan Muamallah,tata cara bermuamallah di jelaskan dalam surat
Al-Baqarah ayat 82.
3.
Hukum
Secara garis besar Al-Qur’an mengatur beberapa ketentuan tentang hukum seperti
hukum perkawinan,hukum waris,hukum perjanjian,hukum pidana,hukum
musyawarah,hukum perang,hukum antar bangsa.
4.
Akhlak
Dalam bahasa Indonesia akhlak dikenal dengan istilah moral .Akhlak,di samping
memiliki kedudukan penting bagi kehidupan manusia,juga menjadi barometer
kesuksesan seseorang dalam melaksanakan tugasnya.Nabi Muhammad saw berhasil
menjalankan tugasnya menyampaikan risalah islamiyah,anhtara lain di sebabkan
memiliki komitmen yang tinggi terhadap ajhlak.ketinggian akhlak Beliau itu
dinyatakan Allah dalam Al-Qur’an surat al-Qalam ayat 4.
5.
Kisah-kisah umat terdahulu. Kisah
merupakan kandungan lain dalam Al-Qur’an.Al-Qur’an menaruh perhatian penting
terhadap keberadaan kisah di dalamnya.Bahkan,di dalamnya terdapat satu surat
yang di namaksn al-Qasas.Bukti lain adalah hampir semua surat dalam Al-Qur’an
memuat tentang kisah. Kisah para nabi dan umat terdahulu yang diterangkan dalam
Al-Qur’an antara lain di jelaskan dalam surat al-Furqan ayat 37-39.
6.
Isyarat pengemban ilmu
pengetahuan dan teknologi. Al-Qur’an banyak mengimbau manusia untuk mengali dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.Seperti dalam surat ar-rad ayat 19
dan al zumar ayat 9.Selain kedua surat tersebut masih banyak lagi dasar-dasar
ilmu pengetahuan dan teknologi seperti dalam kedokteran,farmasi,pertanian,dan
astronomi yang bermanfaat bagi kemjuan dan kesejahteraan umat manusia.
Keistimewaan
Dan Keutamaan Al-qur’an :
1.
Memberi pedoman dan petunjuk
hidup lengkap beserta hukum-hukum untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia
seluruh bangsa di mana pun berada serta segala zaman / periode waktu.
2.
Memiliki ayat-ayat yang
mengagumkan sehingga pendengar ayat suci al-qur’an dapat dipengaruhi jiwanya.
3.
Memberi gambaran umum ilmu alam
untuk merangsang perkembangan berbagai ilmu.
4.
Memiliki ayat-ayat yang
menghormati akal pikiran sebagai dasar utama untuk memahami hukum dunia
manusia.
5.
Menyamakan manusia tanpa
pembagian strata, kelas, golongan, dan lain sebagainya. Yang menentukan
perbedaan manusia di mata Allah SWT adalah taqwa.
6.
Melepas kehinaan pada jiwa
manusia agar terhindar dari penyembahan terhadap makhluk serta menanamkan
tauhid dalam jiwa.
2.3 Kedudukan Hadist, Ijma dan Qiyas
1. Kedudukan
Al-Hadist/Al-Sunnah
Nabi Muhammad
sebagai seorang rosul menjadi panutan bagi umatnya disamping sebagai ajaran
hukum. Baik yang diterima dari Allah yang berupa Al-Qur’an maupun yang
ditetapkan sendiri yang berupa al-Sunnah. Banyak sekali masalah yang sulit
ditemukan hukumnya secara eksplisit dalam Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan
utama, maka banyak orang mencarinya dalam as-Sunnah.
Selain
diindikasikan dalam Al-Qur’an, para ulama pun telah bersepakat untuk menetapkan
al-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam.
Sunnah yang
dijalankan Nabi pada dasarnya adalah kehendak Allah juga. Dalam arti bahwa
Sunnah itu sebenarnya adalah risalah dari Allah yang manifestasikan dalam
ucapan, perbuatan dan penetapan Nabi. Maka sudah sepantasnya, bahkan seharusnya
bilamana Sunnah Nabi dijadikan sumber dan landasan ajaran Islam.
2. Kedudukan
Ijma’
Kebanyakan ulama
menetapkan, bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dan sumber ajaran Islam dalam
menetapkan suatu hukum. Firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 59 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rosulnya dan Ulil Amri
diantara kamu.”
Maka dapat
disimpulkan bahwa, apabila mujtahid telah sepakat terhadap ketetapan hukum
suatu masalah/peristiwa, maka mereka wajib ditaati oleh umat.
Ijma’ dapat
dijadikan alternatif dalam menetapkan hokum suatu peristiwa yang didalam
Al-Qur’an atau as-Sunnah tidak ada atau kurang jelas hukumnya.
3. Kedudukan
Qiyas
Qiyas menduduki
tingkat keempat, sebab dalam suatu peristiwa bila tidak terdapat hukumnya yang
berdasarkan nash, maka peristiwa itu disamakan dengan peristiwa lain yang
mempunyai kesamaan dan telah ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an. Mereka
mendasarkan hal tersebut pada firman Allah dalam surat Al-Hasyr ayat 2 yang
artinya; “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran hai orang-orang
yang mempunyai pandangan.”
2.4 Pengertian
Nash dan Syari’ah
1. Pengertian
Nash
Menurut bahasa,
Nash adalah raf’u asy-syai’ atau munculnya segala sesuatu yang tampak. Oleh
sebab itu, dalam mimbar nash ini sering disebut munashahat, sedangkan menurut
istilah antara lain dapat dikemukakan di sini menurut:
a. Ad-Dabusi:
Artinya:
“Suatu lafazh yang maknanya lebih
jelas daripada zhahar bila ia dibandingkan dengan lafzh shahir.”
b. Al-Bazdawi
“Lafazh yang lebih jelas maknanya
daripada makna lafazh zhahir yang diambil dari si pembicaranya bukan dari
rumusan bahasa itu sendiri.”
Dari
definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa nash mempunyai tambahan
kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari rumusan bahasanya,
melainkan timbul dari pembicara sendiri yang bisa diketahui dengan qarinah.
Atas dasar
uraian tersebut, Muhammad Adib Salih berkesimpulan bahwa yang dimaksud nash itu
adalah:
“Nash adalah
suatu lafazh yang menunjukkan hukum dengan jelas, yang diambil menurut alur
pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan ditakshish dan takwil yang
kemungkinannya lebih lemah daripada kemungkinan yang terdapat dari lafazh
zhahir. Selain itu, ia dapat dinasikh pada zaman risalah (zaman Rasul).”
Sebagai contoh
adalah ayat Al-Qur’an, seperti yang dijadikan contoh dari lafazh zhahir.
وَاَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَى.
Dilalah nash
dari ayat tersebut adalah tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan
riba.
Pengertiannya
diambil dari susunan kalimat yang menjelaskan hukum. Di sini nash lebih memberi
kejelasan daripada zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba) karena
maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa.
2. Pengertian
Syari’ah
Dilihat dari
sudut kebahasaan kata, syari’ah bermakna “Jalan yang lapang atau jalan yang
dilalui air terjun.”
Syari’ah adalah
semua yang disyari’atkan Allah untuk kaum muslimin baik melalui Al-Qur’an
ataupun melalui Sunnah Rasul.
Syari’ah itu
adalah hukum-hukum yang disyari’atkan Allah bagi hamba-hamba Nya (manusia) yang
dibawa oleh para Nabi, baik menyangkut cara mengerjakannya yang disebut
far’iyah amaliyah (cabang-cabang amaliyah). Dan untuk itulah fiqih dibuat, atau
yang menyangkut petunjuk beri’tiqad yang disebut ashliyah i’tiqadiyah (pokok
keyakinan), dan untuk itu para ulama menciptakan ilmu kalam (ilmu tauhid).
Pengertian
syari’ah menurut Syaikh Mahmud Shaltut yakni, syari’at menurut bahasa ialah
tempat yang didatangi atau dituju manusia dan binatang untuk minum air. Menurut
istilah ialah hukum-hukum dan tata aturan yang disyari’atkan Allah buat
hamba-Nya agar mereka mengikuti dan berhubungan antar sesamanya.
Perkataan
syari’ah tertuju pada hukum-hukum yang diajarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
Muhammad SAW. Kemudian dimasukkan kedalamnya hukum-hukum yang telah disepakati
(di ijma’) oleh para sahabat Nabi, tentang masalah-masalah yang belum ada
nashnya dan yang belum jelasa dalam Al-Qur’an ataupun as-Sunnah (masalah yang di
ijtihad), juga dimasukkan kedalamnya hokum-hukum yang ditetapkan melalui qiyas.
Dengan perkataan lain syari’at itu adalah hukum-hukum yang telah dinyatakan dan
ditetapkan oleh Allah sebagai peraturan hidup manusia untuk diimani, diikuti
dan dilaksanakan oleh manusia didalam kehidupannya.
Pengertian
syari’ah menurut Muhammad Salam Maskur dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamy. Salah
satu makna syari’ah adalah jalan yang lurus.
Sebagaimana
firman Allah SWT dalam surat al-Jaatsiyah: 18
ثُمَّ جَعَلْنَكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِّنَ اْلأَمْرِ
فَاتَّبِعْهَاوَلاَ تَتَّبِعْ اَهْوَآءَ الَّذِيْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ. (الجاثية:
18)
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas
suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu
dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS.
Al-Jaatsiyah: 18)
para fuqaha
memakai kata syari’ah sebagai nama bagi hukum yang ditetapkan Allah untuk para
hamba-Nya dengan perantara Rasul-Nya, supaya para hamba-Nya itu melaksanakannya
dengan dasar iman, baik hukum itu mengenai lahiriah maupun yang mengenai akhlak
dan aqaid, kepercayaan dan bersifat batiniah.
Menurut
asy-Syatibi di dalam kitabnya al-Muwafaqat, “Bahwa syari’ah itu adalah
ketentuan hukum yang membatasi perbuatan, perkataan dan i’tiqad, orang-orang
mukallaf.”
Demikianlah
makna syari’at, akan tetapi jumhur mutaakhirin telah memakai kata syari’ah
untuk nama hukum fiqh atau hukum Islam, yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf. Atas dasar pemakaian ini, timbul perkataan: Islam itu adalah aqidah
dan syari’ah sebagaimana dikemukakan Syekh Mahmud Shaltut. Syari’ah Islam
adalah syari’ah penutup, syari’ah yang paling umum, paling lengkap, dan
mencakup segala hukum, baik yang bersifat keduniaan maupun keakhiratan
2.5 Pengertian Ijtihad dan
Perbedaan Mazdhab
1. Ijtihad
Pengertian
Ijtihad
Dari
segi bahas ijtiad berarti mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan.
Sedangkan menurut pengertian syara’ ijtihad adalah menggunakan seluruh
kesanggupan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan mengeluarkan dari kitab
dan sunah-sunah.
Adapun pengertian ijtihad adalah
mencurahkan segala tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum agama (syara’) melalui salah satu dalil syara’ dan
dengan cara tertentu. Tanpa dalil syara’ dan tanpa cara tertentu, maka hal
tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan hal
tersebut tidak dinamakan ijtihad
Ijtihad
mempunyai peranan yang penting dalam kaitannya pengembangan hukum Islam. Sebab,
dalam kenyataannya di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat Muhkamat (jelas kandungannya)
dan ada yang Mutasyabihat (memerlukan penafsiran (belum terang). Dari sinilah,
sehingga ajaran Islam selalu menganjurkan agar manusia menggunakan akalnya.
Apalagi agama Islam sebagai Rahmatan lil Alamin (Rahmat bagi seluru alam) membuat
kesediaannya dalam menerima perkembangan yang dialami umat manusia. Sehingga
secara pasti cocok dan tepat untuk diterapkan dalam setiap waktu dan tempat.
Maka peranan ijtihad semakin penting untuk membuktikan keluasan dan keluwesan
hukum Islam.
2. Perbedaan
Mazdhab
Menurut
bahasa mazdhab berarti “Jalan atau tempat yang dilalui.” Menurut istilah para
Faqih Mazdhab mempunyai dua pengertian yaitu:
1. Pendapat
salah seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu masalah.
2. Kaidah-kaidah
istinbath yang dirumuskan oleh seorang imam.
Dari kedua
pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa pegertian mazdhab adalah: “Hasil
ijtihad seorang imam (Mujtahid Mutlaq Mustaqil) tentang hukum suatu masalah
atau tentang kaidah-kaidah istinbath.”
Dengan
demikian,bahwa pengertian bermazdhab adalah: “Mengikuti hasil ijtihad seorang
imam tentang ukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath.
Orang yang
melakukan ijtihad disebut Mujtahid. Para Imam Mujtahid seperti Imam Hanafi,
Maliki, Syahi’i dan Imam Ahmad bin Hambali, sudah cukup dikenal di Indonesia
oleh sebagian besar umat Islam. Untuk mengetahui pola pemikiran masing-masing
Imam Mazdhab bagi seseorang itu sangat terbatas, bahkan ada yang cenderung
hanya ingin mendalami mazdhab tertentu saja. Hal ini disebabkan, karena
pengaruh lingkungan atau karena ilmu yang diterima hanya dari ulama/guru yang
menganut suatu mazdhab saja.
Menganut
suatu aliran mazdhab saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi jangan
hendaknya menutup pintu rapat-rapat, sehingga tidak dapat melihat
pemikiran-pemikiran yang ada pada mazdhab yang lain yang juga bersumber dari
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Hal ini dimaksudkan, agar seseorang tidak
fanatik kepada suatu mazdhab.
Andaikata sukar menghindari kefanatikan kepada suatu
mazdhab, sekurang-kurangnya mampu menghargai pendapat orang lain yang berbeda
dengan pendapatnya.
Dibawah ini akan
dikemukakan beberapa tokoh Imam Mazdhab.
A.
IMAM
HANAFI
Dasar-dasar
mazdhab Imam Hanafi dalam menetapkan suatu hukum.
1.
Al
Kitab
Al Kitab adalah sumber pokok ajaran Islam. Segala permasalahan
hukum agama merujuk kepada al-Kitab tersebut atau kepada jiwa kandungannya.
2.
As-Sunnah
As-Sunnah adalah berfungsi sebagai penjelasan
al-Kitab, merinci yang masih bersifat umum (global).
3.
Aqwalush
Shahabah (perkataan sahabat)
Perkataan sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam
pandangan Abu Hanifah. Karena menurutnya, mereka adalah orang-orang yang
membawa ajaran Rasul sesudah generasinya.
4.
Al-Qiyas
Abu Hanifah berpegang kepada Qiyas. Apabila ternyata
dalam Al-Qur’an, Sunnah atau perkataan sahabat tidak beliau temukan.
5.
Al-Istihsan
6.
Urf
Pendirian beliau adalah mengambil yang sudah
diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan serta mempertahankan
muamalah-muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi mereka.
Beliau melakukan segala urusan (bila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, Sunnah,
Ijmak atau Qiyas, dan apabila tidak baik dilakukan dengan cara Qiyas) beliau
melakukannya atas dasar istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat
dilakukan istihsan, beliau kembali kepada Urf manusia.
B. IMAM MALIKI BIN ANAS
Dasar-dasar mazdhab Imam Maliki.
1. Al-Qur’an
2. Sunnah
Rasul yang beliau pandang sah.
3. Ijmak
para ulama Madinah, tetapi kadang-kadang beliau menolak hadist apabila ternyata
berlawanan/tidak diamalkan oleh para ulama Madinah.
4. Qiyas
5. Istishlah
(Mashalihul Mursalah)
C. IMAM
SYAFI’I
Dasar-dasar hukum yang dipakai Imam
Syafi’i.
Mengenai dasar-dasar hukum yang
dipakai oleh Imam Syafi’i sebagai acuan pendapatnya termaktub dalam kitabnya
ar-Risalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
Beliau mengambil sunnah tidaklah
mewajibkan yang mutawatir saja, tetapi yang ahad pun diambil dan dipergunakan
pula untuk menjadi dalil, asal telah mencukupi syarat-syaratnya, yakni selama
perawi hadist itu orang kepercayaan, kuat ingatan dan bersambung langsung sampai
kepada Nabi SAW.
3. Ijmak
Dalam arti bahwa para sahabat
semuanya telah menyepakatinya
4. Qiyas
Imam Syafi’i memakai Qiyas apabila
dalam ketiga dasar hukum diatas tidak tercantum, juga dalam keadaan memaksa.
5. Istidlal
(Istishhab)
D. IMAM
AHMAD BIN HAMBALI
Imam Hambali dalam menetapkan suatu
hukum adalah dengan berlandaskan kepada dasar-dasar sebagai berikut:
1. Nash
Al-Qur’an dan Hadist, yakni apabila beliau mendapatkan nash, maka beliau tidak
lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak memperhatikan pendapat-pendapat
sahabat yang menyalahinya.
2. Fatwa
Sahaby, yaitu ketika beliau tidak memperoleh nash dan beliau mendapati suatu
pendapat yang tidak diketahuinya, bahwa hal itu ada yang menentangnya, maka
beliau berpegang kepada pendapat ini, dengan tidak memandang bahwa pendapat itu
merupakan Ijmak.
3. Pendapat
sebagian sahabat yaitu apabila terdapat beberapa pendapat dalam suatu masalah,
maka beliau mengambil mana yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
4. Hadist
Mursal atau Hadist Daif. Hadist Mursal atau Hadist Daif akan tetap dipakai,
jika tidak berlawanan dengan sesuatu atsar atau dengan pendapat seorang
sahabat.
5. Qiyas,
baru beliau pakai apabila beliau memang tidak memperoleh ketentuan hukumnya
pada sumber-sumber yang disebutkan pada poin 1-4 diatas.
BAB 3 PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Al-Qur’an
merupakan sumber utama yang dijadikan oleh para mujtahid dalam menentukan hukum
ajaran Islam. Karena segala permasalahan hukum agama merujuk kepada Al-Qur’an
tersebut atau kepada jiwa kandungannya. Apabila penegasan hukum yang terdapat
dalam Al-Qur’an masih bersifat global, maka hadist dijadikan sumber hukum
kedua, yang mana berfungsi menjelaskan apa yang dikehendaki Al-Qur’an. Sumber
hukum yang lain adalah Ijmak dan Qiyas. Ijmak dan Qiyas merupakan sumber
pelengkap, yang mana wajib diikuti selama tidak bertentangan dengan nash
syari’at yang jelas.
3.2
Saran
Semoga
makalah ini dapat bermanfaat khususna bagi pembaca dan jangan cepat puas dengan
satu pembahasan/materi saja.